Terus Menjahit Meskipun Berganti Zaman
Pergantian rezim di Indonesia memang dirasakan Buyung dan belasan rekan seprofesinya. Dahulu, ketika otoriter berkuasa, dengan mudah kita berjumpa orang-orang seprofesi Buyung di seberang Stasiun Jatinegara.
Bermodal mesin jahit merek ‘Butterfly’ seharga kurang dari Rp 50 ribu dan benang berbagai warna yang terlihat kusam, puluhan penjahit Jatinegara bersaing satu sama lain demi mengadu nasib.
Namun satu per satu usaha penjahit di kawasan itu mati dan tak terganti. Sebagian pindah ke pekerjaan lain, sebagian yang berumur senja pensiun sambil khawatir bagaimana nasib keluarganya kelak.
Namun, tak ada banyak pilihan bagi Buyung dan belasan penjahit yang memilih bertahan. Mereka tetap memilih menjahit daripada mencari rejeki tak halal.
Boleh dikata, perjalanan hidup pria keturunan Ambon dan Bugis tersebut, sama berkaratnya dengan mesin jahit yang digunakan untuk bertahan hidup. Maka, Buyung menutuskan untuk, “berkarat” di Peron stasiun seorang diri, ditempa panas dan hujan. Sesekali, kedua anaknya datang menengok sang ayah.
Ketika ditanya sampai kapan ia akan menopang hidupnya dengan menjahit, Buyung mengaku tak tahu pasti. Seiring pergantian pemimpin di Indonesia, Buyung seakan memupuk harapan, meski kadang tak sesuai kenyataan.
Ia hanya berharap, mesinnya terus berputar, jarumnya terus bisa menusuk dan benangnya terus terurai. Meskipun setiap hari pendapatannya berkisar di angka 20.000 hingga 50.000 rupiah.