Tetap Menjahit Meskipun Sudah Ditinggalkan Kolega Sesama Profesi
Lain hal dengan kisah Buyung, Satu diantara penjahit di Stasiun Jatinegara ialah Kamal (63), sudah sejak tahun 80-an ia menjadi penjahit di sekitar kawasan Jatinegara.
Ia menjelaskan bahwa di lokasi tersebut penjahatnya ada puluhan, meskipun saat ini sudah berkurang karena sudah termakan usia.
Bapak anak ini menceritakan, darah penjahit sudah mengalir deras dalam dirinya lantaran ayah dan kakeknya juga merupakan seorang penjahit.
Setiap harinya, pria yang tinggal di daerah Cipinang Maja ini sudah berada di belakang mesin jahit merk ‘Butterfly’ andalannya sejak pukul 07.00 WIB.
Dengan bermodalkan mesin jahit tua yang beberapa tahun lalu ia beli seharga Rp 50 ribu itu, ia menggantungkan hidupnya. Biaya yang dipatok olehnya untuk para pelanggan pun terbilang sangat terjangkau.
Pelanggannya hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 10 ribu bila ingin memotong celana atau paling mahal Rp 30 ribu, bila ingin memermak pakaian mereka.
Meskipun begitu, ia tetap bersyukur pendapatannya yang tak banyak ini bisa bermanfaat bagi keluarganya, khususnya bagi kelima orang anak yang dititipkan Tuhan kepadanya. Dalam sehari ia mengaku bisa mengantongin upah dari menjahit sebesar 100 ribu rupiah hingga 200 ribu rupiah.
Meski hanya berprofesi sebagai seorang penjahit jalanan, namun Kamal bisa membesarkan kelima anaknya, bahkan saat ini kelimanya sudah bekerja dan memiliki keluarga sendiri.
Meski usianya kini sudah tidak muda lagi dan kelima anaknya sudah bisa hidup mandiri, namun Kamal tetap semangat menjalani profesinya tersebut.