Deni menceritakan, ia sendiri sudah berjualan di Pasar Asemka ini hampir 9 (sembilan) tahun. Selama itu ia mengaku melihat perkembangan Pasar Asemka dari masa ke masa. Ada banyak hal yang terekam dalam memorinya.
Apalagi dalam dunia perdagangan, ada kalanya penjualan yang mengalami pasang surut bukanlah suatu hal yang baru lagi. Pasar Asemka juga menjadi salah satu tempat yang mengalami hal tersebut dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi penurunan daya beli.
Salah satu faktor penurunan daya beli yang sangat dirasakan ialah saat diberlakukannya Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masa Pandemi Covid-19 yang melanda dunia beberapa waktu lalu. Kondisi ini selanjutnya semakin diperparah dengan adanya gempuran persaingan penjualan online yang menjamur di banyak platfrom.
“Kita sempat hilang harapan waktu itu memang. Tapi bagaimanapun kita harus tetap cari cara bertahan apalagi memang di sininlah ladang pencarian kami sejak lama. Jadi mau bagaimana?,” cerita Deni.
Bagaimanapun kondisinya, Pasar Asemka akan tetap menjadi pasar yang menorehkan banyak cerita. Pasar yang akan terus menjadi ikon dan sejarah dari sekian banyak pasar tradisional yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya. Di mana tentunya ada sejarah panjang yang telah ditorehkan Pasar Asemka dalam catatan kegiatan perdagangan di Ibukota DKI Jakarta.
Jika dibedah dari awal, nama Pasar Asemka memiliki nama yang unik dan tentu saja memiliki makna di dalamnya. Adapun, nama Asemka sendiri berasal dari banyaknya kegiatan penjualan asam Jawa di wilayah tersebut dulunya.
Namun kini seiring dengan berkalannya waktu, Pasar Asemka yang dulu hanya dikenal sebagai tempat penjualan asam Jawa kini telah bertumbuh sebagai pusat perdagangan grosir terbesar di Jakarta bahkan Asia Tenggara yang menawarkan berbagai macam jenis souvenir dan kebutuhan terlengkap lainnya.